Breaking News

Mikrobioma usus berperan dalam Alzheimer

Dalam ulasan terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Pharmacological Research, para peneliti di Brazil menyelidiki peran mikrobiota usus dalam kognisi, fungsi otak, perilaku, dan patogenesis penyakit neurodegeneratif.

Latar belakang

Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa mikrobioma usus memainkan fungsi penting dalam kesehatan gastrointestinal dan dalam proses metabolisme seperti pemrosesan glukosa, respons imun, peradangan, kesehatan tulang, dan transmisi saraf pusat dan perifer.

Perakitan dan keseimbangan mikrobiota usus dimulai pada masa bayi melalui paparan mikrobioma ibu dan terus berkembang sepanjang hidup individu, dimodifikasi oleh faktor-faktor seperti pola makan. Selain itu, penelitian terbaru telah menyoroti keterlibatan mikrobiota usus dalam homeostasis otak, dengan studi di bidang neurofisiologi, neurokimia, dan neuropsikiatri yang melaporkan peran gangguan mikrobioma usus dalam patogenesis penyakit otak.

Perubahan komposisi mikrobiota usus telah dikaitkan dengan berbagai penyakit dan gangguan, seperti asma, diabetes, gangguan autoimun, penyakit Parkinson, depresi, gangguan spektrum autisme, dan penyakit Alzheimer. Diet yang diperkaya yang memodulasi mikrobiota usus telah menunjukkan hasil positif pada pasien obesitas dan diabetes.

Paparan peptida umum antara manusia dan mikroba usus dianggap meningkatkan risiko penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer pada individu dengan predisposisi genetik terhadap penyakit tersebut.


Microbiota-gut-brain axis

Tinjauan tersebut membahas berbagai penelitian yang mengeksplorasi komunikasi antara usus dan sistem saraf pusat yang dimediasi oleh mikrobioma usus, juga dikenal sebagai sumbu mikrobiota-usus-otak. Mikrobiota usus mengeluarkan molekul pensinyalan dan mengatur sistem kekebalan tubuh, yang mengaktifkan saraf vagus dan memengaruhi otak. Perubahan mikrobiota usus dapat mengganggu fungsi optimal mikroglia sistem saraf pusat, secara tidak langsung berkontribusi pada patogenesis penyakit neurodegeneratif.

Studi menunjukkan bahwa perubahan komposisi mikrobiota usus, terutama yang berkaitan dengan spesies Bacteroides, Lactobacillus, Clostridium, dan Bifidobacterium tertentu, memengaruhi fungsi otak pada model hewan pengerat dan manusia. Selain itu, percobaan dengan model tikus yang kekurangan mikrobiota usus menunjukkan peningkatan gangguan memori kognitif, spasial, dan kerja dibandingkan dengan tikus tipe liar.

Selain itu, model tikus dengan disbiosis yang diinduksi ampisilin menunjukkan kecemasan, gangguan memori, dan peningkatan peradangan. Perawatan probiotik membangun kembali mikroba usus yang sehat dan menghasilkan pengurangan disfungsi kognitif dan perilaku. Hasil dari penelitian ini mendukung peran potensial mikrobioma usus dalam patogenesis penyakit seperti Parkinson dan Alzheimer.


Sekresi neurotransmitter

Mikrobioma usus secara tidak langsung terlibat dalam komunikasi saraf melalui sekresi neurotransmiter seperti serotonin dan gamma-aminobutyric acid (GABA) dan faktor trofik seperti brain-derived neurotrophic factor (BDNF), menunjukkan mutualisme host-mikroba yang melampaui homeostasis gastrointestinal.

Spesies Lactobacillus dan Bifidobacterium menghasilkan neurotransmitter penghambat GABA dari monosodium glutamat. Dysbiosis yang melibatkan bakteri dari dua genera ini menyebabkan penurunan produksi GABA, menyebabkan eksitotoksisitas sistem saraf pusat. Akumulasi glutamat berikutnya juga menghasilkan regulasi turun ekspresi messenger ribonucleic acid (mRNA) dari reseptor N-metil-D-aspartat.

Serotonin adalah neurotransmitter esensial dalam sistem saraf enterik dan pusat dan disintesis dari asam amino triptofan yang ditemukan dalam protein makanan. Hampir 90% sintesis serotonin terjadi di sel enterochromaffin yang ditemukan di epitel gastrointestinal dan membutuhkan keseimbangan antara serapan triptofan di epitel dan penggunaan asam amino oleh bakteri. Enterococci dan Escherichia coli dianggap berperan dalam memodulasi ketersediaan triptofan untuk sintesis serotonin.

Selain itu, mikrobiota usus juga terlibat dalam produksi protein dan mRNA dari faktor trofik BDNF, yang penting untuk kelangsungan hidup dan fungsi neuron di sistem saraf pusat dan perifer.


Microbiome dan penyakit Alzheimer

Penyakit Alzheimer ditandai dengan produksi berlebihan dan agregasi peptida amiloid-beta (Aβ) yang menyebabkan pembentukan plak ekstraseluler yang tidak larut. Mikrobiota usus melepaskan produk sampingan seperti amiloid dan lipopolisakarida ke dalam lingkungan usus, yang penyerapannya dapat mengubah jalur pensinyalan sitokin inflamasi, berkontribusi pada patogenesis penyakit Alzheimer dan akumulasi Aβ.

Berbagai penelitian dengan probiotik dan intervensi diet telah menunjukkan peningkatan fungsi kognitif dan penurunan akumulasi Aβ pada pasien Alzheimer. Studi juga menunjukkan korelasi antara amiloidosis, gangguan kognitif, dan sitokin proinflamasi yang disekresikan mikrobioma usus. Selain itu, peptida usus seperti leptin dan ghrelin diperkirakan memengaruhi fungsi saraf seperti memori dan pembelajaran, dan perubahan mikrobioma usus terlihat memengaruhi kadar ghrelin plasma.


Kesimpulan

Secara keseluruhan, ulasan komprehensif ini membahas peran mikrobiota usus dalam komunikasi saraf antara usus dan otak dan melaporkan hasil dari berbagai penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara keragaman mikrobioma dan fungsi kognitif.

Selain itu, penulis juga meneliti keterlibatan mikrobiota usus dalam mensintesis neurotransmitter dan hubungan antara fungsi mikrobioma usus dan patogenesis penyakit Alzheimer.


Journal reference:

de J.R. De-Paula, V., Forlenza, A. S., & Forlenza, O. V. (2018). Relevance of gutmicrobiota in cognition, behaviour and Alzheimer’s disease. Pharmacological Research, 136, 29–34. https://doi.org/10.1016/j.phrs.2018.07.007

No comments