Olahraga membentuk kesehatan usus kita, demikian temuan penelitian
Dalam penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal EBioMedicine, tim ilmuwan menyelidiki hubungan antara tingkat aktivitas fisik dan mikrobiota usus menggunakan penilaian berbasis akselerometer untuk tingkat aktivitas fisik yang tidak banyak bergerak, sedang, dan berat.
Latar belakang
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik yang optimal menurunkan risiko diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan kondisi kesehatan mental seperti depresi. Selain itu, kebiasaan tidak banyak bergerak yang melibatkan aktivitas yang mencakup duduk atau berbaring dalam waktu lama diketahui meningkatkan risiko kematian kardiovaskular dan diabetes tipe 2, dan risiko ini dapat diturunkan melalui olahraga intensitas tinggi. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa efek positif olahraga terhadap kesehatan mungkin dimediasi melalui perubahan mikrobioma usus.
Penelitian substansial juga menunjukkan bahwa mikrobioma usus berperan penting dalam berkembangnya berbagai penyakit dan masalah kesehatan mental. Selain interaksi dengan inang di saluran cerna, mikrobiota usus juga diduga menghasilkan neurotransmitter yang dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sistem saraf pusat, dan homeostasis otak melalui berbagai jalur saraf dan poros mikrobiota-usus-otak. Aktivitas fisik dan perubahan sirkulasi, pergerakan asam empedu enterohepatik, permeabilitas usus, dan kekebalan usus dapat mempengaruhi mikrobiota usus.
Tentang penelitian
Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan data dari studi bioimage kardiopulmoner dari Swedia untuk menentukan apakah tingkat aktivitas fisik yang tidak banyak bergerak, sedang, dan berat dikaitkan dengan perubahan mikrobioma usus. Meskipun beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti hubungan ini, sebagian besar dari penelitian tersebut menggunakan tingkat aktivitas fisik yang dilaporkan sendiri, yang tentunya memiliki bias. Selain itu, penulis percaya bahwa resolusi taksonomi mikroba usus terbatas dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan data dari akselerometer yang dikenakan di pinggul untuk mendapatkan ukuran tingkat aktivitas fisik yang lebih andal dan akurat. Selain itu, penggunaan metagenomik shotgun diperkirakan memberikan informasi taksonomi resolusi tinggi tentang komunitas mikroba usus.
Para peserta dalam penelitian ini diminta untuk menjawab kuesioner rinci tentang kesehatan dan riwayat kesehatan, pola makan, dan kebiasaan gaya hidup. Mereka menjalani serangkaian pemeriksaan fisik dan klinis seperti paru-paru, arteri koroner, dan computerized tomography (CT) perut. Peserta juga memberikan sampel tinja yang digunakan untuk analisis mikrobioma usus. Akselerometer dikenakan di pinggul oleh semua peserta selama satu minggu, setiap saat kecuali saat melakukan aktivitas berbasis air atau tidur.
Data dari akselerometer diubah menjadi hitungan per menit, yang kemudian digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas fisik menetap, rendah, sedang, dan berat berdasarkan batas waktu yang divalidasi dari penelitian sebelumnya. Ekstraksi asam deoksiribonukleat (DNA) dilakukan untuk semua sampel tinja, dan DNA yang diekstraksi kemudian digunakan untuk mengidentifikasi spesies metagenomik.
Berbagai indeks keanekaragaman spesies, seperti indeks invers Simpson, indeks keanekaragaman Shannon, dan kekayaan spesies, dihitung untuk menentukan keanekaragaman alfa. Selain itu, perbedaan komposisi mikroba antar sampel ditentukan dengan menghitung keanekaragaman beta.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kebiasaan menetap atau tingkat aktivitas fisik yang sangat rendah dengan kelimpahan berbagai spesies mikroba usus berbanding terbalik dengan hubungan antara tingkat aktivitas fisik sedang atau berat dengan kelimpahan spesies mikrobioma usus.
Kelimpahan Escherichia coli ditemukan tinggi berkaitan dengan tingkat aktivitas fisik yang tidak banyak bergerak, sedangkan tingkat aktivitas fisik sedang dikaitkan dengan rendahnya kelimpahan E. coli. Kelimpahan bakteri penghasil butirat seperti yang termasuk dalam genus Roseburia, dan Faecalibacterium prausnitzii tinggi pada individu dengan tingkat aktivitas fisik sedang dan berat.
Selain itu, perbedaan juga diamati pada kelimpahan spesies, seperti Prevotella copri, antara individu dengan tingkat aktivitas fisik sedang dan kelompok aktivitas fisik berat. Kelimpahan P. copri lebih tinggi jika dikaitkan dengan tingkat olahraga sedang, namun olahraga berat tidak menunjukkan hubungan dengan kelimpahan P. copri.
Potensi fungsional mikrobioma usus juga ditemukan berbeda sehubungan dengan perbedaan tingkat aktivitas fisik. Aktivitas fisik tingkat sedang ditemukan berhubungan dengan sintesis asetat dan butirat yang lebih tinggi. Olahraga berat ditemukan terkait dengan sintesis propionat yang lebih tinggi, dan tingkat aktivitas yang tidak banyak bergerak dikaitkan dengan kapasitas degradasi karbohidrat yang lebih rendah oleh mikrobiota usus.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik sangat terkait dengan banyaknya mikroba usus tertentu. Selain itu, keragaman dan kelimpahan mikrobiota usus, dan potensi fungsionalnya, berubah sesuai dengan tingkat aktivitas fisik yang berbeda. Kebiasaan menetap dan aktivitas fisik tingkat tinggi menunjukkan hubungan terbalik dengan kelimpahan dan keragaman mikrobioma usus.
Journal reference:
Baldanzi, G., Sayols-Baixeras, S., Ekblom-Bak, E., Ekblom, Ö., Dekkers, K. F., Hammar, U., Nguyen, D., Ahmad, S., Ericson, U., Arvidsson, D., Börjesson, M., Johanson, P. J., Gustav, S. J., Bergström, G., Lind, L., Engström, G., Ärnlöv, J., Kennedy, B., Orho-Melander, M., & Fall, T. (2024). Accelerometer-based physical activity is associated with the gut microbiota in 8416 individuals in SCAPIS. EBioMedicine, 100. DOI: 10.1016/j.ebiom.2024.104989, https://www.thelancet.com/journals/ebiom/article/PIIS2352-3964(24)00024-0/fulltext
No comments